Senin, 09 Januari 2017

Diduga Bersaksi Palsu di Pengadilan, Novel Bamukmin Akan Dipenjara Lagi




Sekjen FPI Novel Chaidir Hasan Bamukmin saat menjadi saksi di sidang dugaan penistaan agama oleh Ahok, pada 3 Januari 2017, mengaku sebagaimana tercantum pada BAP-nya bahwa pada 27 September 2016 sore, setelah Ahok berpidato pada pagi harinya, di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, ia mendapat banyak telepon dan SMS dari warga di sana yang mempermasalahkan pidato Ahok itu karena dianggap telah menista agama Islam.

Tetapi, ketika pihak pengacara Ahok meminta bukti dari pengakuannya itu, Novel menjawab bahwa bukti (yang berupa log pada ponselnya) itu sudah dia hapus semua. Suatu hal yang tidak logis, sebab log pada ponselnya yang berisi rekaman data tentang waktu dan dari mana semua telepon dan sms yang masuk ke ponselnya itu justru sangat penting bagi dirinya, sebagai bukti kuat bahwa benar ada banyak telepon dan SMS yang masuk dari Kepulauan Seribu ke ponsel-nya pada 27 September 2016 sore itu, tetapi kenapa ia justru menghapuskannya semua?

Jawaban yang logis adalah bahwa sesungguhnya tidak ada telepon, maupun SMS yang masuk ke ponsel-nya dari Kepuluan Seribu ketika itu, alias Novel telah berbohong atau telah melakukan kesaksian palsu di persidangan Ahok tersebut.

Pihak Ahok dan pengacaranya telah bertindak benar dengan meminta polisi untuk mencari bukti data di operator telepon yang digunakan Novel untuk ponsel-nya itu, apakah benar ada banyak telepon dan SMS yang masuk dari Kepulauan Seribu ke ponsel-nya pada 27 September 2016 sore itu.

Dari fakta-fakta di lapangan, yang telah digali oleh beberapa media, terbukti bahwa warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri pidato Ahok itu, tidak pernah mempermasalahkan pidato Ahok tersebut, apalagi mempermasalahkannya sebagai penistaan terhadap agama Islam. Mereka bahkan sudah hampir melupakan pidato Ahok itu, sebelum menjadi ramai di Jakarta.

Mereka justru sangat mengapresiasi kinerja Ahok di sana yang berupaya mensejahterakan kehidupannya dengan antara lain dengan mengadakan program budi daya ikan gurapu di sana, dengan pembagian keuntungan 80 persen untuk nelayan, 20 persen untuk Pemprov DKI Jakarta. Bagian keuntungan 20 persen untuk Pemprov DKI itu pun akan dikembalikan untuk mengembangkan lebih lanjut program budi daya ikan gurapu tersebut.

Masyarakat Kepulauan Seribu baru menaruh perhatian terhadap pidato Ahok itu setelah dua minggu kemudian pidato itu dipermasalahkan dan menjadi ramai di Jakarta, itu pun persepsi mereka tidak berubah: tidak ada masalah dengan pidato Ahok itu. Mereka justru terheran-heran, bagaimana bisa sekalimat ucapan Ahok di dalam pidatonya itu dianggap sebagai suatu penistaan agama dengan reaksi amarah yang sedemikian luar biasa hebatnya seolah-olah negara ini dalam keadaan bahaya besar, dengan menghabiskan begitu banyak waktu berharga, energi, dan uang.

Setelah kesaksian Novel di persidangan Ahok tentang ada banyak telepon dan SMS yang masuk ke ponsel-nya itu, pada 4 Januari 2017, detik.com melakukan investigasi di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu itu, untuk mencari tahu langsung dari warga di sana, apakah benar ada banyak di antara mereka yang pada 27 September 2016 sore telah telepon dan/atau SMS ke ponsel Novel untuk mengadu perbuatan penistaan agama oleh Ahok dalam pidatonya itu.

Hasilnya, dari semua warga Pulau Pramuka yang diwawancara itu, semua menyanggah pengakuan Novel itu. Tak ada satu pun dari mereka yang telah menghubungi ponsel Novel, apalagi untuk mempermasalahakan pidato Ahok itu. Sepengetahuan mereka warga Pulau Pramuka lainnya juga tidak pernah menghubungi ponsel Novel untuk keperluan apapun. Nomor ponsel Novel pun rasanya mereka tidak ada yang tahu.

"Saya nggak tahu. Sepertinya tidak ada orang Pulau yang melapor. Kita kan biasa-biasa saja," kata Bram (52), warga asli Pulau Pramuka.

"Kalau orang sini pada di luar semua enggak terlalu merhatiin. Setelah pidato itu warga sini ya biasa saja," ujar Jerry (51), rekan Bram.

Warga lainnya, seperti Nur (39), Wali (55), dan Linda (41) juga membuat pernyataan serupa. Dalam pergaulan dengan tetangga sehari-harinya mereka tidak pernah membahas pidato Ahok, apalagi melaporkannya.

"Kurang tahu kita apa ada yang melapor ke Novel. Kalau kumpul ya biasa saja enggak nyinggung-nyinggung," ucap mereka.

Marudin Boko (51) warga asli Pulau Panggang meminta Novel mengungkap warga yang melapor. Boko meminta nama pelapor diungkap agar semua menjadi jelas.

"Nggak pernah denger ada yang laporan ke sana. Tanya saja dia siapa yang melaporkan pasti nanti ketahuan," tegas Boko.

Sampai di sini, kelihatanlah bahwa Novel hanya menjual nama masyarakat Kepulauan Seribu untuk membenarkan tuduhan dia dan kelompoknya kepada Ahok telah melakukan penistaan agama.

Di BAP-nya diketahui pula Novel mengaku bahwa laporan dia ke polisi itu adalah atas nama umat Islam di Indonesia, tetapi ia tidak bisa menjawab ketika tim pengacara Ahok bertanya kepadanya, umat Islam yang mana yang diawakili, dan apakah ada surat kuasanya.

Kebohongan Novel ini sebetulnya juga kelihatan sekali dengan tidak sinkronnya alasan yang diakemukakan ketika ditanya pihak pengacara Ahok di persidangan itu. Ketika pengacara Ahok bertanya, kenapa masyarakat Kepulauan Seribu justru tidak mempermasalahkan pidato Ahok itu (padahal mereka yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri), Novel lupa dengan kebohongannya tentang telepon dan SMS dari Kepulauan Seribu itu, spontan dia menjawab: Karena masyarakat Kepulauan Seribu itu kurang imamnya, mereka awam di bidang agama Islam.

Jawabannya itu artinya secara tak langsung dia mengakui masyarakat Kepulauan Seribu tidak mempermasalahkan pidato Ahok itu, seharusnya jika pengakuannya itu benar, maka jawabannya kira-kira begini: “Siapa bilang mereka tidak mempermasalahkannya? Seperti yang saya sudah bilang, saya mendapat banyak telepon dan SMS dari mereka yang mengadu pidato Ahok itu, karena itu suatu penistaan agama,” sambil menunjukkan log telepon-telepon yang masuk dari sana.

Juga, seperti yang dinyatakan oleh salah satu warga Kepulauan Seribu, 99 persen penduduk Kepulauan Seribu itu beragama Islam. Apabila benar Ahok telah menistakan agama Islam ketika itu, maka besar kemungkinan dia tidak akan keluar dari Kepulauan Seribu dalam keadaan hidup, karena akan langsung dihakimi massa saat itu juga.

Faktanya, Ahok setelah pidatonya itu Ahok masih menghabiskan cukup banyak waktu bersama masyarakat setempat dengan acara tanya-jawab, disertai dengan suguhan sukun goreng dariwarga di sana.

Ketidaksinkronan lainnya, apabila benar masyarakat Kepulauan Seribu itu kurang imamnya, kok bisa mereka mengerti kalau pidato Ahok itu merupakan suatu penistaan agama, dan melaporkan ke Novel? Anehnya, setelah ramai-ramai mereka melaporkan ke Novel via telepon dan SMS itu, wujud mereka tak tampak seorang pun? Apakah yang menelepon dan meng-SMS Novel itu adalah hantu-hantu dari Kepulauan Seribu?

Untuk mencari tahu, apakah yang menelepon dan mengirim SMS kepada Novel itu hantu (bohong) ataukah tidak, maka Ahok dan pengacaranya harus serius meminta polisi untuk melakukan penyelidikan mengenai hal tersebut. Dengan wewenang yang ada padanya polisi bisa meminta rekaman data telepon danSMS yang masuk ke ponsel Novel di tanggal 27 September 2016 sore itu.

Jika dari hasil investigasi polisi di operator telepon tersebut tidak ditemukan ada data sebagaimana pengakuan Novel Bamukmin itu, maka tak diragukan lagi bahwa ia sudah memberi kesaksian palsu di persidangan Ahok itu. Ancaman hukuman tujuh tahun penjara pun segera mengintainya.

Apabila polisi serius menangani kasus kesaksian yang diduga palsu dari Novel ini, rasanya sulit bagi dia untuk mengelak dari jatuhnya vonis hakim berupa penjara lagi terhadapnya, karena tidak ada bukti ada warga, apalagi pakai kata “banyak” dari Kepuluan Seribu yang menelepon dan mengirim SMS kepadanya pada 27 September 2016 sore itu.

Penjara lagi bagi Novel?

Ya, penjara lagi, karena Novel Chaidir Hasan “Bamukmin” memang pernah masuk penjara.

Pada 6 April 2015, ia pernah divonis hakim dengan hukuman 7 bulan penjara karena terbukti melakukan penghasutan radikalisme dan intoleran, hingga menyebabkan terjadinya aksi anarkisme, kerusuhan, dan jatuhnya beberapa korban luka-luka, termasuk 4 orang polisi.

Peristiwa itu terjadi pada 3 Oktober 2014, ketika Novel memimpin massa FPI untuk melakukan unjuk rasa menolak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Saat itu ia diketahui telah melakukan orasi provokatif, menghasut massa untuk melakukan aksi anarkis menolak Ahok berdasarkan rasa kebencian agama terhadap Ahok, sampai terjadinya bentrok antara massa dengan pasukan Polri, yang menyebabkan jatuhnya beberapa korban luka-luka.

Novel sempat menjadi buronan polisi Metro Jaya selama beberapa hari, sebelum akhirnya menyerahkan diri ke polisi, dan langsung ditahan.

Setelah melalui beberapakali sidang pengadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta, pada 6 April 2015, hakim menjatuhkan vonis hukuman 7 bulan penjara kepada Novel.









Seusai vonis, ia sempat menyatakan bahwa vonis tersebut merupakan rekayasa, dan Ahok tetap Gubernur DKI yang tidak sah.

"Vonis ini rekayasa dan Ahok tetap Gubernur ilegal!" seru Novel ketika itu.

Kebencian Novel terhadap Ahok semakin bertambah-tambah dengan jatuhnya vonis 7 bulan penjara itu, padahal vonis itu jatuh kepadanya akibat dari perbuatannya sendiri.

Dendam membara Novel itu ingin sekali ia lampiaskan kepada Ahok dengan adanya pidato Ahok yang menyinggung ayat 51 Al-Maidah tersebut, yang dipaksakan sebagai suatu perbuatan penistaan agama, lalu Ahok pun dilaporkan ke polisi.

Karena susungguhnya pidato Ahok itu bukan merupakan penistaan agama, tetapi hanya direkayasa menjadi seolah-olah merupakan suatu penistaan, wajar sekali Novel, demikian juga kawan-kawannya yang lain para pelapor Ahok, serta para sponsor mereka itu, tidak punya bukti apa pun dengan tuduhan mereka itu.

Maka itulah ketika giliran Novel dan kawan-kawannya itu menjadi saksi pada persidangan Ahok yang keempat pada 3 Januari 2017 lalu, yang terjadi adalah kesaksian-kesaksian palsu bin konyol yang mengundang tawa itu.

Akibatnya, nanti, bukan Ahok yang masuk penjara, tetapi Novel-lah yang akan masuk lagi, karena demi nekad memaksakan kehendaknya agar Ahok dipenjara, ia telah memberi kesaksian-kesaksian palsu saat di penyidikan, maupun di persidangan.

Pasal 242 ayat 1 dan 2 KUHP tentang kesaksian palsu:

Ayat 1:

Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Ayat 2:

Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

**

Satu hal lagi kebohongan Novel di persidangan itu adalah pengakuan dia sebagai seorang habib, padahal bukan.

Ketika ditanya pengacara Ahok, apakah benar dia seorang habib, Novel membenarkannya.

Lalu, pengacara Ahok itu menunjukkan kliping berita dari republika.co,edisi 11 Oktober 2014, dan membacanya.

Berita itu berisi bantahan dari organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia, Rabithah Alawiyah, yang menegaskan bahwa Novel Bamukmin bukan merupakan keturunan Rasulullah (sayyid). Artinya, Novel bukan habib yang secara bahasa artinya keturunan Rasul yang dicintai.

Ketua Umum DPP Rabithah Alawiyah, Sayyid Zen Umar bin Smith, mengatakan, Bamukmin merupakan salah satu suku yang memang berasal dari Yaman atau Hadramaut. Tetapi tidak mempunyai silsilah atau garis keturunan dari Rasulullah.

“Novel Bamukmin itu bukan sayyid apalagi habib,” katanya seperti dikutiprepublika.co.id, beberapa waktu lalu.

Menurut Sayyid Zen, gelar habib tidak bisa disematkan kepada setiap sayyid. Setiap habib harus sayyid, tetapi sayyid belum tentu habib. Dia mengatakan, saat ini banyak orang yang mengaku sebagai seorang habib, padahal bukan.

Setelah kebohongannya itu terkuak di pengadilan itu, barulah kepada wartawan Novel mengatakan bahwa namanya sejak lahir memang ada “Habib”-nya, lengkapnya Habib Novel Chaidir Hasan (sesuai dengan yang tercantum di KTP-nya), sedangkan “Bamukmin” adalah nama keturunannya dari Yaman.

Tetapi, kenapa ia mengaku sebagai habib juga? Bukankah itu tetap saja merupakan suatu kebohongan lagi di sidang pengadilan tersebut?

Sumber


Artikel Terkait


EmoticonEmoticon