Sabtu, 21 Januari 2017

SBY Berulah Lagi



Rupanya SBY tidak tahan untuk tidak mengomentari hal-hal yang sedang terjadi di negara yang pernah ia pimpin selama dua kali lima tahun. Ia merasa harus ikut urun rembuk atas sesuatu yang menurutnya penting, utamanya jika hal-hal itu menyangkut nama pribadi, keluarga, atau partai pendukungnya.

Ketua Umum Partai Demokrat itu menulis status dengan kalimat “Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar “hoax” berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang? *SBY*”

Dari membaca tweet di atas, kita bisa meraba-raba apa maksud sang mantan. Kesatu, ia prihatin atas berkembang-suburnya kasus hoax di tanah air (baca : Negara kok jadi begini). Berita “bohong” atau hoax ini seakan-akan sudah menjadi makanan bangsa ini sehari-hari dan terus diproduksi oleh juru fitnah dan penyebar hoax yang berkuasa dan semakin merajalela. Kalimat yang saya ketik tebal ini memiliki makna bias. Mempunyai arti ganda atau bahkan tripel. Bisa berarti bahwa penyebar hoax adalah orang-orang yang sedang berkuasa. Jika ini yang dimaksud, lalu siapa yang berkuasa? Yang berkuasa adalah orang-orang yang memiliki sarana dan prasarana untuk menyebar hoax. Orang-orang ini pasti punya “resources” katakanlah uang dan mungkin juga kekuasaan. Kalau tidak punya kekuasaan pasti berita-berita hoax yang diprouksi sudah dihentikan oleh perangkat negara yang berkaitan dengan itu seperti polisi atau kominfo. Ini arti yang pertama.

Arti yang kedua juru fitnah dan penyebar hoax sedang berkuasa dan merajalela adalah “pemerintah” yang sedang berkuasa dalam arti ini Jokowi dan kabinetnya dan semua afiliasinya. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena hal ini dikaitkan dengan kalimat “Negara kok jadi begini.” JIka ini terlalu tendensius dan mengada-ada, arti yang lebih pas adalah mengapa negara diam saja ketika hoax dan fitnah merajalela dan berkuasa.

Dari cuitan SBY tersebut kita bisa menduga bahwa sang mantan sedang dalam sasaran tembak berita-berita yang menurut sang mantan menjurus pada hoax, terlebih setelah Sylviana Murni pasangan AHY mendapat panggilan polisi atas dua kasus yang membelitnya yakni kasus korupsi dana bansos pramuka dan terlibat kasus korupsi dana Masjid Al Fauz di Jakarta Pusat. Dua kasus ini telah menjadi trending topik baik di media sosial maupun media massa tradisional seperti koran dan televisi.


Menurut Hanta Yudha selaku Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, kasus yang menimpa Sylviana Murni ini bakal berdampak pada elektabilitas pasangan calon paslon nomor 1, Agus-Sylvi. Namun, besaran dampaknya tergantung pada empat faktor. “Satu, bagaimana kelanjutan peguliran kasus hukum ini. Apakah semakin mendalam? Apakah ada indikasi atau hanya sebagai saksi? Kedua, sejauh mana pasangan calon dan timnya bisa me-recovery, merespons isu itu dengan baik. Ketiga, sejauh mana kencangnya lawan-lawan politik dalam mengkapitalisasi untuk merusak elektabilitas yang bersangkutan. Dan keempat, peguliran di media sekencang apa?”

Sejatinya inilah yang ditakutkan SBY, karena menurut beberapa polling paslon nomor urut 1 ini selalu menduduki rangking pertama (?). Mengalahkan Ahok-Jarot dan Anies-Sandi. SBY sangat berharap putra kesayangannya ini dapat memenangkan pilgub DKI dan menjadi gubernur yang pada gilirannya kemudian bisa menjadi orang nomor satu di negeri ini. Ini mimpi SBY. Sah-sah saja. Dan kita harus angkat topi untuk SBY dalam hal ini. Terlepas mimpinya itu masuk akap atau di awang-awang. Kita bisa flash back, siapa sih SBY pada waktu masih menjadi menterinya Mega? Tidak ada orang yang kenal. Lha kok bisa jadi presiden RI dua kali lagi? Jadi tidak ada yang mustahil bagi AHY.

Apa Dampak Tweet SBY?

Ia sebagai presiden yang menjabat dua kali tentu masih dipandang orang. SBY pastilah bukan orang sembarangan, terlepas dari mutu ia memerintah. Sebagai orang terpandang tentu saja ucapan dan tindak-tanduknya masih menjadi sorotan masyarakat. JIka tweet ini dikatakan sebagai blunder, maka ini adalah blunder yang kedua. Yang pertama ketika SBY curcol tentang “lebaran kuda.”

Lantas kita diingatkan akan peristiwa Sumpah presiden Amerika Trump semalam. Para presiden Amerika berkumpul hadir, baik yang setuju maupun yang tidak setuju dengan Trump, bahkan Hilarry Clinton yang merupakan saingan terberat Trump dan dalam kampanye telah mengarah pada kebencian pribadi toh berkenan hadir.

Apa artinya bagi kita? Banyak. Para mantan presiden RI belum bisa bersatu. Mantan tanpa sungkan mengomentari program atau kebijakan yang sedang dilakukan presiden yang berkuasa. Di Amerika ini merupakan hal yang tabu. Kita rahayat Indonesia mendambakan presiden yang pernah memerintah rukun satu sama lain. Itu yang menjadi harapan kita semua.

Oleh karena itu, mbok yao pak SBY berhentilah men-tweet hal-hal yang berpotensi dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.

Begitulah komodo



Sumber

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon