Rabu, 25 Januari 2017

Ketika SBY dan Fahri Hamzah "Salah Kamar" di Twitter



Oalah... oalah. Alangkah ramainya (lucunya) negeriku. Demo jadi kerjaan, api korupsi tak kunjung padam, pemimpin jadi tontonan, hantu PKI jadi tuduhan, pemimpin ramai-ramai cari perhatian, yang jadi maling teriak maling, rakyat gelisah tapi belum terkencing-kencing. Ini fenomena musiman ataukah anomali cuaca politik yang tak berkesudahan, belum ada kata sepaham untuk upaya penghentian. 

Keramaian itu makin menjadi setelah SBY curhat ke Tuhan lewat twitter dan Fahri Hamzah mentwit "mengemis menjadi babu di negeri orang" untuk menyebut kondisi para TKI kita di luar negeri. Akibatnya, sudah pasti, baik SBY maupun Fahri Hamzah panen sindiran dan kecaman. Itulah kalau pemimpin dan pejabat lupa atau tidak paham siapa jati dirinya. 

Orang Jawa mengenal istilah "empan papan" atau tempatkan sesuatu pada tempatnya. Penjelasannya sederhana. Misalnya, celana itu dipakai untuk menutup bagian tubuh ke bawah, baju untuk menutup bagian tubuh tengah ke atas. Celana dalam dipakai untuk menutup organ vital di dalam, demikian juga BH untuk organ vital bagian dada. Jadi semua menempati bagian masing-masing. 

Bagaimana jika celana dalam dan BH justru dikenakan di luar setelah mengenakan celana atau baju? Itu jelas tidak "empan papan" tapi lebih cocok disebut Superman dan Supergirl. Mudah kan, pengertiannya. 

"Empan Papan" juga berlaku pada perilaku manusia sesuai kedudukan dan statusnya di tengah kehidupan masyarakat dan negara. Kalau jadi guru, berlakulah seperti guru. Kalau jadi prajurit berlakulah seperti prajurit, kalau jadi pejabat berlakulah seperti pejabat, kalau jadi pemimpin berlakulah seperti pemimpin. Setiap kedudukan, status, atau profesi tentu mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing. 

Kedudukan mempunyai masa kadaluwarsa. Artinya, pada waktunya kedudukan bisa lepas karena suatu sebab alami atau tidak, diberhentikan atau pensiun. Ketika kedudukan lepas, maka seseorang harus bisa menempatkan dirinya pada situasi baru itu. Misalnya jadi pensiunan prajurit, pensiunan guru, pensiunan pejabat anu, atau mantan presiden, dan mantan-mantan yang lain. 

Bisa menempatkan diri pada situasi baru itu memang terkadang tidak mudah, karena adannya kecenderungan post power syndrome. Tetapi, umumnya manusia-manusia tangguh bisa melewati masa itu dengan mulus. Mereka tetap menjalani hidup dengan semangat dan sikap untuk berbuat kebaikan untuk masyarakat, bangsa, dan negaranya, sesuai kemampuan yang dimilikinya. 

Terlebih lagi bagi seorang pemimpin, yang tidak mengenal kata pensiun. 
Sebagai pemimipin, dia adalah pemecah masalah bagi bangsanya, pendorong dan pemberi harapan kebaikan bagi masyarakat luas. Pemimpin jelas bukan jadi beban bagi rakyat, menimbulkan masalah bagi rakyat, mendorong munculnya sikap was-was, rasa tidak aman, atau pesimis dalam menjalani kehidupan. 

Negarawan, terlebih lagi. Hidup, pemikiran, serta perjuangannya dicurahkan bagi kebaikan, kemajuan, dan keutamaan bangsa dan negaranya. Pemimpin masih bisa tersekat dalam kepentingan politik praktis dan golongan. Negarawan tidak. Dia menempatkan dirinya lepas dari itu semua, terlebih kepentingan sempit dinasti keluarganya. 

Dari sisi pandang inilah, baik SBY maupun Fahri Hamzah tidak bersikap "empan papan". Keduanya salah menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan pejabat. Ibaratnya mereka telah salah kamar saat mengungkapkan pikiran dan perasaan lewat twitter. Akibatnya tentu tidak sederhana karena SBY mantan presiden sementara Fahri Hamzah seorang wakil ketua DPR. 

Kalau seorang lelaki salah masuk toilet wanita di tempat umum, yang penuh dengan wanita, mungkin hanya sorak sorai dan kecaman muncul. Atau, paling apes digebuki karena dituduh cabul. Tetapi seorang mantan presiden dan seorang wakil ketua DPR yang "salah kamar" dalam bertindak bisa menimbulkan akibat yang lebih serius dari itu. 

TWIT CURHAT SBY KE TUHAN 

Baiklah supaya tidak lupa, saya kutip lagi pernyataan atau curhat SBY ke Tuhan lewat twitter (20/1/2017), S. B. Yudhoyono. 

@SBYudhoyono: "Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar "hoax" berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang? *SBY*". 

Kalau dibaca sekilas, sudah tampak ketidakwajaran dalam twit SBY itu, yaitu curhat ke Tuhan kok lewat twitter. Sebagai orang beragama, kalau mau curhat ke Tuhan itu biasanya lewat peribadatan, doa, dzikir, dan seterusnya. Nah, paska curhat SBY itu, netizen ikut SBY ramai-ramai curhat ke Tuhan, menyindir SBY. 

Kalau dilihat lebih jeli lagi substansi yang dicurhatkan SBY, juga terlihat jelas kontradiksinya. Misalnya soal juru fitnah & penyebar hoax. Goenawan Mohamad, penulis dan pengurus komunitas Salihara itu langsung membalas twit SBY itu. Goenawan Mohamad @gm_gm: "Dgn hormat, fitnah dan hoax itu sudah menggila di Pilpres 2014, terutama thd @jokowi. Lewat "Obor Rakyat". Bisa cek ke Andi Arif. Tksh" 

Bisa disebut, twit balasan Goenawan Mohammad itu langsung menghujam ke inti persoalan. Sebagaimana diketahui, Tabloid Obor Rakyat yang dicetak ribuan eksemplar dan diedarkan secara gratis ke pesantren-pesantren dan pelosok perdesaan saat Pilpres lalu, isinya adalah fitnah dan hoax terhadap Jokowi. Setiyardi Budiono dan Darmawan Sepriyossa pimred dan redpel tabloid itu telah divonis hakim PN Jakarta Pusat delapan bukan penjara, November 2016 lalu tapi keduanya mengajukan banding. 

Yang menarik, keduanya ternyata punya hubungan sangat dekat dengan Andi Arif staf presiden SBY saat itu. Kini pun, meski terbukti terlibat dalam pembuatan penyebaran berita fitnah dan hoax, ternyata Setyardi disebut masih dekat dengan SBY dan terlibat dalam tim pemenangan pasangan Agus - Sylvi dalam Pilgub Jakarta. Karena itu ada yang heran, SBY curhat ke Tuhan soal juru fitnah & penyebar hoax tapi kok bekerja sama dengan tukang bikin fitnah dan hoax. 

Mungkin, twit Goenawan Mohammad itulah cara Tuhan membalas curhat SBY, sekaligus mengingatkan bahwa Allah Tuhan YME itu jauh dari sifat lupa. Juga, tidak ada senoktah peristiwa dan desir hati manusia yang luput dari pengawasan Allah. Inilah cara orang beriman memahami hukum sebab akibat dalam curhat SBY yang dibalas twit Goenawan Mohamad itu. 

Tetapi, urusan belum selesai di situ. Langkah curhat SBY juga dinilai beberapa pihak tidak pantas dilakukan seorang mantan presiden, yang seharusnya memberi dorongan ke rakyat agar semangat memerangi hoax dan menjauhi perilaku juru fitnah, dan bukannya curhat ke Tuhan berisi keluhan. Inilah sebenarnya kurang bijaksananya SBY dalam menempatkan dirinya sebagai mantan presiden. 

Sudah beberapa kali, pernyataan yang dikeluarkanya malah menjadikan situasi kehidupan berbangsa dan bernegara makin panas. Tidak salah, putranya maju jadi cagub DKI, tetapi seharusnya SBY bisa menempatkan dirinya sebagai pendorong agar Pilkada berjalan damai, aman sejuk, dan demokratis. Tetapi, kenyataan tidak seperti itu. Yang populer malah "Lebaran Kuda". 

Mungkin karena itu pula paska curhatnya kepada Tuhan itu, serangkaian sindiran pedas terlontar dari banyak pihak. Mantan ketua KPK Antasari Azhar misalnya (yang hari ini baru saja mendapat grasi dari Presiden Jokowi) menyatakan tidak sepantasnya SBY mengeluh seperti itu. 

"Daripada beliau cuit-cuit di Twitter bilang negara ini kacau, wong enggak kacau kok. Kalau kacau, enggak ada yang bisa terlaksana, mending dia bantu buka kasus saya. Dia tahu kok. Pada era beliau terjadinya," ujar Antasari. (kompas.com, 23/1/2017) 

Reaksi Anas Urbaningrum mantan ketua umum Partai Demokrat yang kini mendekam di penjara, lebih cespleng lagi. Walau tak menyebut nama SBY secara langsung, twit Anas jelas sebagai balasan twit curhat SBY ke Tuhan itu. 

Inilah kutipan twit Anas yang sambung menyambung menjadi satu itu. Anas Urbaningrum @anasurbasningrum: 

1. Ya Allah, bimbing para pemimpin kami untuk "ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" (di depan memberi contoh, di tengah masyarakat membaur dan menyemangati, di belakang memberi dorongan dan motivasi). 

2. Ya Allah, jangan sampai terjadi "mestine dadi tuntuntan malah dadi tontonan" (seharusnya jadi tuntunan malah jadi tontonan) 

3. Ya Allah, jauhkan kami dari pekerti "ono ngarep ewuh-ewuhi, ono mburi ngegol-egoli" (di depan merintangi, di belakang jadi beban). 

 4. Ya Allah, ingatkan kami bahwa "ajining diri ono ing lathi, ajining diri ono ing cuitan" (harga diri itu ada di ucapan, harga diri itu ada di cuitan). 

5. Ya Allah, jauhkan para pemimpin kami dari JARKONI "biso ngajar ora biso nglakoni" (bisa mengajarkan tapi tak bisa mempraktekkan). 

6. Ya Allah, jangan lupakan kami dari petuah leluhur "ojo metani alaning liyan" (jangan mencari keburukan orang lain). 

7. Ya Allah, jangan ubah "lengser keprabon madeg pandhito" (setelah berkuasa berubah jadi pendeta atau orang suci yang jadi panutan) menjadi "lengser keprabon madeg CAKIL" (setelah berkuasa jadi raksasa atau orang yang buruk hati dan perangainya). 

Tujuh twit Anas Urbaningrum tiga hari lalu itu, masih disambung lagi dengan tiga twit 24/1/2017 kemarin. 

1. Negarawan mengutamakan pupuk. Politisi menyukai karbit. 

2. Negarawan memperjuangkan generasi berikutnya. Politisi memperjuangkan keturunan berikutnya. 

3. Demokrasi menjunjung kepentingan rakyat. Dinasti memanggil kepentingan anak. 

Tanpa perlu penjelasan panjang lebar, twit Anas Urbaningrum itu jelas sindiran yang cukup keras terhadap SBY. Ini masih juga ditambah sindiran dari arena lain. Misalnya sindiran Raja Butet pada pementasan teater di TIM dua hari lalu. Sang raja yang dipentaskan Butet, menasehati putranya, "Kalian kalau jadi pemimpin, jadi pemimpin yang tangguh, bukan pemimpin yang cengeng. Bukan kerjaannya curhat melulu. Ngeluh sama Tuhan kok di Twitter. Emang Tuhan follow situ?" 

TWIT "MENGEMIS MENJADI BABU" FAHRI HAMZAH 

Twit Fahri Hamzah wakil ketua DPR yang tak jelas parpolnya itu juga telah membuat para TKI meradang marah, menuntut Fahri meminta maaf dan disidang Mahkamah Kehormatan Dewan, kemudian dipecat dari keanggotaan DPR. Inilah twit itu: 

Fahri Hamzah @Fahrihamzah: "Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela..." Twit itu kini sudah dihapus, dan telah muncul twit permintaan maaf (24/1/2017) Fahri Hamzah @Fahrihamzah: "Tapi, apapun, kita harus berhadapan. Kepada pemangku profesi yang merasa terhina saya minta maaf. Terima kasih.

" Kemarahan para TKI itu wajar karena Fahri menyebut "anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang". Betapa rendahnya Fahri menilai para TKI yang setiap tahun mengirim devisa hingga ratusan triliun ke tanah air. Mereka bekerja jadi TKI untuk keluarganya di Indonesia dan disebut menjadi "mengemis menjadi babu". 

Entah nalar apa yang dipakai Fahri Hamzah sebagai wakil ketua DPR yang kebetulan porsi tugasnya bersentuhan dengan urusan TKI ini. Dan sikap Fahri yang "nyleneh" ini bukan kali ini saja. Sebelumnya Fahri juga diberitakan menyebut seribu TKI di Hongkong hamil dan menyerahkan anaknya ke LSM. Juga ada tuduhan, 30 persen TKI di Hongkong terjangkit penyakit HIV/AIDS. 

Sementara para TKI marah, Fahri menyebut kicauannya di twiter itu tak ada hubungannya dengan penghinaan. Sebagai ketua Tim Pengawas Tenaga Kerja, da mengaku sangat mengetahui nasib pekerja Indonesia di luar negeri. Kondisinya tragis bahkan tak jarang ada yang diperbudak. (kompas.com, 25/1/2017) 

Tak heran jika Koalisi 55 Organisasi Buruh Migran Indonesia di Hongkong yang tergabung dalam Lingkaran Aku Cinta Indonesia (LACI) meradang. Kicauan Fahri mereka nilai telah melecehkan martabat para pekerja Indonesia di luar negeri. Padahal hasil keringat mereka, telah menyumbang devisa 7,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 97,5 triliun. 

Apa pun alasan Fahri, bahwa pernyataannya itu agar nasib TKI lebih diperhatikan, rasanya juga aneh. Masa, untuk itu harus dengan menyebut mereka "mengemis menjadi babu di negeri orang". Apakah Fahri tidak bisa merasakan bagaimana perasaan seseorang yang disebutnya seperti itu, demikian juga anak-anak dan keluarga mereka. 

Seharusnya, Fahri mempercepat proses revisi Undang-undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Perlindungan pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) yang tak kunjung selesai sejak masa jabatan DPR 2009-2014 dan kini dilanjutkan lagi itu. Bukankah itu tugas pokok anggota DPR, daripada mentwit yang menyakiti jutaan TKI. 

Inilah mungkin kesamaan Fahri dan SBY, kurang tepat menempatkan diri sebagai wakil ketua DPR dan mantan presiden. Jelas mereka bukan orang biasa yang bisa dengan seenak hati mengutarakan twit atau pernyataan politik tanpa memikirkan akibatnya pada rakyat. Rakyat punya hati dan perasaan, yang tentunya kini tak takut lagi untuk mengkritik pemimpin yang tidak "empan papan". 

Salam, damai Indonesia

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon