Jumat, 13 Januari 2017

Rizieq Syihab, Imam Besar Mental Centeng




Saat mendengar ceramah Rizieq Syihab, orang-orang mungkin menganggap dia ini pemberani. Atau mungkin meyakini bahwa Rizieq kebal hukum. Ceramahnya banyak diisi dengan materi kebencian. Tempo hari saat Rizieq berceramah di Cibubur (Desember 2016), isinya hanya tentang Ahok dan Jokowi. Orang Bogor memang tak punya hak pilih di DKI Jakarta, tapi Ahok adalah topik yang wajib dibawakan. Termasuk dalam khotbah jumat di banyak masjid. Dan Rizieq sedang memanfaatkan momentum itu.

Bertahun-tahun gaya ceramah itu tidak berubah. Bahkan cenderung makin berbahaya kandungannya. Orang-orang mungkin takut dengan status Imam Besar yang melekat pada namanya. Juga panggilan habib yang diberikan jamaahnya. Sehingga bahasa kebencian ini menguasai ruang publik untuk waktu yang lama. Padahal sebutan imam besar itu hanya bagi kelompoknya saja. Sedangkan label habib itu kesalah-kaprahan yang diulang-ulang.

Rizieq belum pantas disebut habib meski ia mungkin seorang sayid. Habib adalah sebutan untuk sayid yang layak dicintai, dijadikan panutan, tempat meminta nasehat, mengayomi segenap lapisan masyarakat, baik yang muslim maupun bukan. Namun masyarakat terlanjur keliru dan takut menyuarakan kebenaran.

Ketika tahun 2011 Rizieq Syihab melecehkan Pancasila, orang-orang takut atau tidak perduli. Entah karena sudah lupa pada Dasar Negara, atau karena segan pada gelarnya. Baru kemudian ketika putri Soekarno mendengar pelecehan itu (2016), ia melaporkannya ke polisi. Jadi jika tidak ada Sukamawati, yang dalam tubuhnya mengalir darah Soekarno, mungkin tidak ada yang perduli dengan pelecehan ini. Beberapa orang memang geram, marah, memaki di medsos, tapi ya berakhir senyap.

Sebagai Imam Besar, Rizieq kembali menunjukkan jumlah gerombolannya ketika memenuhi panggilan polisi. Tidak tanggung-tanggung, ia membawa tiga ribu pasukan. Masyarakat Sunda yang tidak terima dengan bahasa kebencian Rizieq yang lain, yaitu pelecehan salam Sampurasun, menyongsong pasukan FPI itu. Dua gelombang massa bertemu dan beradu. Terjadilah bentrok yang menyedihkan itu.

Jika dalam ceramah yang berisi pelecehan Dasar Negara di video itu Rizieq terlihat garang, ketika keluar dari kantor polisi ia terlihat mulai ciut nyali. Wajahnya terlihat pucat, kata-katanya mulai terdengar gentar. Dengan logika amburadul ia membuat pembenaran. Rizieq mendistorsi sejarah. Mungkin ia berpikir, orang banyak hanya memiliki tingkat kekritisan sekelas lasykarnya saja. Panasbung tukang teriak di jalanan. Sehingga mudah dikelabui.

Rizieq tidak paham sejarah. Ia membuat sejarah Pancasila sesuai versinya sendiri. Kemudian mengaku-ngaku sebagai orang Betawi demi meminta perlindungan. Perbuatan yang menyedihkan untuk ukuran seorang Imam Besar. Bayangan Umar yang digonggongkan pasukannya jadi anti klimaks.

Pada pidato bermasalah itu, Rizieq Mengatakan, “Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat, sedangkan Pancasila Piagam Jakarta, ketuhanan ada di kepala.” Kemudian ia menyangkal semua itu dengan serangkaian eufimisme menyesatkan. Memisahkan Pancasila versi Soekarno dengan Pancasila versi Piagam Jakarta adalah sesat pikir.

Kita tengok sejarah. Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret 1945. Sesuai namanya, badan ini bertujuan menyelidiki, mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan kemerdekaan. Termasuk membuat Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar.




Perumusan Pancasila melalui perjalanan panjang. Dasar Negara ini sebelummya telah diusulkan oleh Moh. Yamin dan Soepomo dengan lima dasar negara versi mereka. Kemudian pada pidato ketiga (1 Juni 1945), Soekarno secara detil menyebut lima dasar negara versinya, dengan memberi nama Pancasila. Beberapa poin dasar negara Soekarno beririsan dengan milik Moh. Yamin dan Soepomo. Soekarno, dalam pemahaman saya, melengkapi dasar negara yang disebutkan dua tokoh sebelumnya.


Namun sampai akhir persidangan BPUPKI, tidak dicapai kesepakatan. Akhirnya mereka membentuk Panitia Sembilan, yang kemudian merumuskan kembali Pancasila. Rumusan itu dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Perbedaan inilah yang dijadikan pembenaran oleh Rizieq, seolah dia menganggap Pancasila dan Piagam Jakarta dibuat oleh orang berbeda. Padahal Panitia Sembilan itu diketuai oleh Soekarno!

Jadi, Pancasila yang dibawakan saat pidato 1 Juni 1945 itu, dirumuskan kembali oleh orang yang sama menjadi Piagam Jakarta. Soekarno hadir di setiap momen penting itu. Ia menjadi perekat dari segenap perbedaan. Maka ketika dalam sidang BPUPKI berikutnya, peserta ribut kembali mengenai “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, juga beberapa pasal eksklusif, Hatta memberikan pidato perubahan. Lahirlah Pancasila dan UUD 45 seperti yang kita kenal.




Soekarno memahami, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, golongan, maka ia hendak mendirikan Negara Bangsa (Nation State), bukan negara agama. Pancasila yang lima itu menurut Soekarno bisa diperas menjadi Trisila. Dari tiga sila itu bisa diperas lagi menjadi Ekasila yaitu, Gotong-royong. Jelas sekali terlihat di sini negara dalam pandangan Soekarno bukan sekadar teks, tapi pelaksanaan cita-cita bersama, untuk merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Rizieq Syihab tidak memahami hal itu. Pandangan bernegaranya adalah negara agama. Ia tidak menghargai tangisan Soekarno ketika hendak menyatukan ragam perbedaan pendapat para pendiri bangsa. Ia tidak melihat proses berdirinya NKRI yang penuh pengorbanan. Maka jasa para pahlawan yang berbeda-beda itu dianggapnya tidak ada.

Dulu pernah ada kelompok yang berjuang mempertahankan Piagam Jakarta. Mereka melakukannya dengan cara radikal. Kelompok itu yang dikenal dengan pemberontakan DI/TII/NII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia). Pemimpinnya bernama Kartosuwiryo, Sahabat dekat Soekarno sendiri. Pembelaan Rizieq selepas keluar dari Kapolda Jawa Barat justru akan menempatkan dirinya dalam dua posisi genting.

Pertama ia menghina (setidaknya merendahkan) Soekarno, padahal ia buta sejarah. Pancasila dan Piagam Jakarta dirumuskan oleh orang yang sama, yaitu Soekarno. Namun Rizieq sengaja memisahkannya sebagai bahan untuk melecehkan. Kedua, ia otomatis menjadi penganut paham pemberontak DI/TII karena memaksakan kehendaknya untuk mengubah Pancasila. Mengubah negara bangsa menjadi paham negara agama.

Pertunjukan drama Singa Islam berakhir anti klimaks. Rizieq yang disanjung-sanjung sebagai Imam Besar itu ternyata hanya bermental centeng. Di Petamburan dan daerah basis massanya, ia dielu-elu laksana Umar. Namun semua berakhir hambar dan menyedihkan ketika ia mengelak dari perbuatannya sendiri. Rizieq tidak mengakui ceramah dengan bahasa kebenciannya itu. Ia menyangkal kebenaran. Dan yang menyedihkan, ia mengaku-ngaku Betawi untuk melindungi diri. Dia menanggalkan kearabannya sendiri. Potret yang telah lama dia bentuk melalui penampilan fisik.

Rizieq Syihab lupa panggilan Habib dan julukan Imam Besar yang diberikan lasykarnya. Saat kepepet, ia lebih memilih sikap seorang centeng yang kalah bertarung dan minta perlindungan. Tidak ada jiwa ksatria dalam dirinya. Tidak ada kebanggaan lagi. Sebagaimana suara sinis dan keras dalam ceramah-ceramahnya. Semua menjadi anti klimaks yang tragis, sangat menyedihkan sekaligus memalukan.

Rizieq, shame on you….


Artikel Terkait


EmoticonEmoticon