Senin, 04 Desember 2017

Mesin Parkir Era Ahok Terbengkalai, Mundur Kotanya, Bahagia Premannya

Tags




Jakarta mulai masuk ke masa suram, gelap, penuh dengan sinar berwarna hitam. Lihat saja Anies dan kebijakannya, semua serba kebalikan dengan apa yang dijanjikannya. Visi dan misi untuk memajukan kota dan membahagiakan warganya, hanya sebatas isapan jempol, jika tidak ingin dikatakan omong kosong.

Jakarta yang sempat ingin dibuat lebih tertata dan manusiawi oleh Basuki Tjahaja Purnama, sekarang mulai dibuat tidak manusiawi. Modernitas yang ditawarkan oleh Ahok pada saat ia menjabat menjadi gubernur DKI Jakarta, begitu saja diacuhkan oleh Anies. Ini adalah bentuk keberpihakan yang paling jelas.

Lihat saja mesin parkir yang menjadi sumber pendapatan pemprov DKI Jakarta, telah terbukti mengurangi secara drastis pungli yang dilakukan oleh para ormas-ormas bajingan. Lihat saja Satpol PP sekarang dianggap sebagai penjahat, dengan para PKL sebagai korban. Padahal kita tahu, Jakarta membutuhkan keteraturan.

Permasalahan kemacetan dan premanisme yang sudah mulai digalakkan oleh Ahok, diabaikan oleh Anies. Gubernur yang memikirkan kesejahteraan seluruh warga, hanya karena berbeda iman, harus kalah dengan gubernur yang didukung oleh ormas radikal dan preman Tanah Abang.

Pasti Pemerintah Provinsi DKI bakal benturan, karena lapak rejeki ormas ini diambil… Berarti selama ini ada ratusan miliar uang yang diputar di oknum ormas dan aparat yang main… Saya minta dukungan Tentara Nasional Indonesia dan polisi untuk meredam” tutur Ahok di Balai Kota, Senin, 10 Agustus 2015. SUMBER

Lihat saja PKL yang sudah ditertibkan, mulai mengisi penuh tempat pejalan kaki, membuat kemacetan. Dulu Jakarta mungkin macet karena ada Si Komo lewat. Namun sekarang Jakarta mulai macet karena ada Si Ancur Badut melucu di tengah kota. Ini adalah bentuk ironi yang paling ultimat.

Tempat parkir yang dulunya sempat menjadi lokasi becek penghasil uang dari para preman yang dikendalikan oleh kepala preman, sudah dihantam Ahok. Pol PP, Polisi, bahkan TNI pun diminta Ahok untuk memutus rantai-rantai pungli dan premanisme di Jakarta. Kelapa Gading merupakan salah satu proyek percontohan yang diterapkan sistem parkir meter.

Ahok tidak membuang para tukang parkir. Tukang parkir hanya tidak diberikan akses memegang uang cash. Mereka digaji secara profesional, agar mereka pun terhindar dari pungli dan membayar kepada tuan tanah, yang sebenarnya merupakan manusia-manusia preman.


Para tukang parkir digaji secara baik, pendapatan Pemprov pun melejit tinggi. Namun apa daya, karena tidak seiman, dan hanya karena itu, ratusan juta, bahkan alokasi dana miliaran untuk mendirikan mesin parkir, hanya menjadi monumen di era Anies.

Mesin parkir yang masih berdiri namun hanya menjadi monumen yang mengingatkan kita, bahwa ada orang setulus Ahok, pernah berhasil melawan bahkan menghantam keras kepala para preman yang ingin untung. Sejam lima ribu, bukan nilai yang kecil. Namun ini menjadi sebuah kesia-siaan.

Benar, saya semakin sadar akan kalimat-kalimat rintihan dari Sang Pengkhotbah, bahwa tidak ada yang baru, di bawah matahari. We are living under the same sun. Nothing new, all are old. Begitulah yang saya rasakan, ketika melihat Anies, sang perwakilan pribumi yang mulai bangkit di tanah sendiri, mulai jumawa dan membiarkan preman-preman itu berbahagia.

"Parkir meter tidak mengubah sistem menarik duit dari juru parkir (jukir), hanya juru parkirnya enggak boleh ngantongin uang kontan… Dengan model ini kita tidak mengurangi juru parkir, hanya oknum ormas-ormas tertentu yang jatah-jatahan itu hilang, yang dicuri, yang enggak disetor itu hilang… Ini mesin hanya ibaratnya supaya duitnya enggak dicolong. Kalau orang lihat duit kontan kan hijau-hijau matanya… " ujar Ahok (sapaan Basuki) di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Kamis (4/5/2017). SUMBER

Hari ini langit begitu bersinar dengan cahaya purnama, mengingatkan kita oleh seorang Tjahaja Purnama, yang pernah memberi sinar pengharapan kepada rakyat Jakarta. Namun akhirnya, itu hanya kenangan, ketika melihat mesin parkir yang sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Di bawah kebangkitan perwakilan pribumi, Anies Baswedan sepertinya mulai tidak bisa mengatur kota. Sehingga slogan Maju Kotanya, Bahagia Warganya, perlahan berubah menjadi Mundur Kotanya, Bahagia Premannya.

Betul kan yang saya katakan?



Artikel Terkait


EmoticonEmoticon