Minggu, 18 Desember 2016

Premanisme Berkedok Jubah Agama






Kebebasan menyuarakan pendapat paska lengsernya Orde Baru terlihat semakin marak dilakukan oleh kelompok tertentu untuk menggelar aksi unjuk rasa. Adanya jaminan demo karena dilindungi oleh Undang-undang selama masih dalam koridor mentaati aturan, namun seringkali dimanfaatkan untuk menekan pihak lain dengan pengerahan massa. Misalnya saja demo-demo yang sedang marak saat ini maupun yang ditunjukkan oleh perserikatan buruh dan sebagainya.

Apabila dibandingkan dengan di luar negeri khususnya negara barat, ada sedikit perbedaan, misalnya di Jerman. Tuntutan dari pekerja yang tergabung dalam suatu organisasi profesi untuk meminta kenaikan upah, sebelum melakukan demo diadakan dialog antara perwakilan kedua pihak. Apabila tidak menghasilkan kesepakatan, barulah aksi unjuk rasa digelar. Biasanya dengan mogok kerja dan diiringi pawai di jalanan atau hanya berkumpul di tempat tertentu secara tertib.

Berbeda dengan yang terjadi di tanah air secara prosedur yang dilakukan adalah kebalikannya. Mereka menghimpun massa terlebih dahulu untuk melakukan unjuk rasa, baru kemudian melakukan dialog. Bahkan kadang pemerintah pun dijadikan sasaran demo. Mungkin cara ini dianggap lebih efektif untuk melakukan tekanan apa yang menjadi tuntutannya. Cara mengedepankan dialog terlebih dahulu sebelum beraksi sepertinya masih belum menjadi tradisi. Justru pendemo, lebih mengedepankan cara-cara konvensional lewat tekanan pengerahan massa atau mogok kerja yang didahulukan. Tidak berbeda dengan jenis demo lain yang akhir-akhir ini sedang ramai.

Maraknya aksi unjuk rasa saat ini mengingatkan saya sewaktu masih tinggal di Jogja. Kejadian sekitar tahun 90an terkait dengan demo yang juga sering dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Namun dibalik demo itu sendiri ada kepentingan lain yang menjadi tujuan. Beberapa pihak memanfaatkannya sebagai ladang bisnis untuk meraup keuntungan secara materi.

Paska operasi Penembakan Misterius (Petrus) atau OPK tahun 82, premanisme di Jogja memang mengalami penurunan drastis. Namun memasuki tahun 90an, muncul lagi nama-nama baru yang menggantikan penerusnya. Berawal dari geng motor yang saat itu mulai ramai dan selanjutya memunculkan sosok-sosok pentolannya. Kiprah para pentolan ini karena merasa memiliki nama, anak buah dan ditakuti, kemudian menjalani kehidupan premanisme. Hanya saja praktek kerjanya lebih pintar dibanding dengan gali-gali (preman) sebelumnya.

Di era tahun 70-80an biasanya bergerak secara perorangan atau dalam skala kelompok kecil dan juga tanpa bekingan. Saat sekarang kebanyakan dari mereka masuk bergabung dengan partai politik dan menjadi anggota Satuan Tugas (Satgas). Tidak sedikit dari mereka yang kemudian membawa rombongan anak buahnya dan dijadikan ormas underbouw parpol tersebut.

Disinilah, terjadi simbiosis mutualisme. Parpol bisa menggunakan tenaga mereka untuk menggalang massa saat kampanye, dengan harapan akan mendulang suara atau kepentingan lain. Dan para preman, membutuhkan bekingan jika terlibat masalah dengan pihak aparat. Dengan masuknya kedalam parpol secara otomatis anak buahnya pun akan semakin bertambah banyak dari para simpatisan partai.

Waktu itu, yang bergabung kebanyakan pada parpol berbasis agama. Lewat cara ini agar memiliki cakupan lebih luas untuk berburu mendapatkan jatah preman (japrem). Dalam menjalankan operasinya mereka berkedok dengan membawa embel-embel atau atribut agama, seolah olah berperang melawan kemaksiatan. Bulan Ramadhan adalah musim panen bagi mereka. Modus yang digunakan adalah melakukan konvoi dan sweeping di tempat hiburan maupun restauran yang menjual minuman keras. Biasanya dilakukan pada malam hari.

Namun sebelum sweeping dilakukan, siang harinya diutus salah satu anggotanya untuk melakukan negoisasi dengan pemiliknya. Apabila mau membayar jatah bulanan sebagai mahar keamanan, maka akan aman aman saja, tidak akan diganggu. Jika pemilik resto atau tempat hiburan menolak, maka malam harinya akan didatangi dan dilakukan sweeping. Tidak peduli walau usahanya telah memiliki surat ijin penjualan minuman keras tetap saja akan dirusaknya. Alasan yang digunakan sederhana saja, karena tidak menghormati bulan suci Ramadhan. Bagi pengusaha yang takut usahanya terganggu, biasanya akan memilih memberikan jatah preman ini tiap bulannya.

Bukan hanya dengan cara itu saja mereka mendapatkan uang, tapi demo-demo pun sering dilakukan yang tujuannya untuk mendapat uang. Misalnya ada seseorang yang dipandang kaya atau usahanya sukses terlibat dalam perkara kriminal khususnya narkoba dan perjudian, gerombolan ini akan mendatangi lewat negosiatornya. Bila tidak diberikan uang sebagai tutup mulut, mereka mengancam akan mengerahkan massa untuk berdemo agar kasusnya mendapat perhatian besar masyarakat.

Biasanya orang-orang kaya yang terlibat kasus kriminal, berusaha melakukan penyuapan pada aparat penegak hukum agar kasusnya dihentikan atau mendapat hukuman seringan mungkin. Namun bila ada demo yang mengawal kasusnya, maka akan mendapat sorotan masyarakat. Di pengadilan para penegak hukum pun akan mendapat tekanan dan kesulitan untuk membantu terdakwa dalam menjatuhkan vonis ringan.

Praktek-praktek premanisme semacam itulah yang membuat pundi-pundi uang didapat dengan mudah oleh mereka. Selain itu, tentunya penguasaan tempat parkir, kasus sengketa tanah dan segala macamnya yang dianggap sebagai sumber penghasilan. Modus semacam ini mungkin tidak hanya terjadi di Jogjakarta saja tapi juga ada dibeberapa kota besar lainnya sampai sekarang.

Sebelumnya bisa dikatakan sebagian besar wilayah Jogjakarta dikuasai oleh kelompok yang berafiliasi dengan parpol hijau. Namun belakangan muncul persaingan ketat antar kelompok preman lain yang juga ingin menaikkan benderanya. Kelompok baru ini pun menggunakan cara yang sama dan bergabung dengan parpol merah. Bagi gali-gali tua era sebelumnya yang masih tersisa dan mencoba eksis lagi, kebanyakan masih setia di partai kuning.

Tidak mengherankan bila terjadi Pilkada dan Pileg di Jogja sering terjadi bentrokan antar simpatisan parpol ini. Selain mereka jor-joran menampilkan kekuatan, juga adanya persaingan antar kelompok preman didalamnya.









Sumber

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon