Minggu, 18 Desember 2016

Ketika Setan Sudah Lelah Akan Tugasnya







Suatu waktu, setelah Ashar, Udin pergi ke kuburan. Ia berencana menziarahi makam neneknya. Sudah cukup lama ia tak menabur bunga di atas tempat awal persinggahan akhirat itu. Ada kerinduan tersendiri bagi Udin tentang sosok pribadi baik dalam diri neneknya. Karenanya, walau hanya seorang diri, dengan usia yang masih muda, tak ada ketakutan sedikit pun berangkat ke kuburan.

Ketika hendak masuk ke tanah pekuburan, tampak ada sosok makhluk misterius sedang duduk termenung di atas pepohonan, tepat di depan pintu gerbang masuk. Makhluk halus tersebut sebangsa jin. Berbadan jangkung yang dipenuhi rambut lebat di sekujur tubuhnya dan dengan warna kulit hitam kemerahan.

Udin sempat ketakutan. Cukup lama ia mengamati dari jarak sekirat 50 meter. Hingga Udin mencoba mendekat. Melangkahkan kakinya dengan sangat perlahan.

Mengetahui ada manusia yang mendekatinya, sosok misterius itu pun menoleh. Melihat ke arah Udin dengan sorotan mata yang tajam. Namun kemudian mengalihkan pandangan. Kembali ia termenung. Sepertinya, ada sesuatu yang mengganjal dipikirannya.

“Hei, kamu Setan kan?” tanya Udin, setelah berada di bawah pohon, tempat makhluk itu berdiam.

“Sudah tahu nanya.” jawab Setan ketus.

“Yeee, kok Setan ngambek sih?” ledek Udin. “Memangnya kamu punya masalah apa?”

“Alaa, sok akrab. Memang kamu siapa?”

“Aku Udin. Ayolah, cerita dong! Siapa tahu aku bisa bantu.”

Sejenak, Setan termangu. Sepertinya ia menahan tangis. Entah karena apa? Beban tanggung jawab atau mungkin terharu atas niat baik Udin padanya.

“Aku kesasar, Din.” ungkap Setan Mulai berkisah. “Sudah puluhan tahun aku di sini. Tapi tidak juga ketemu yang dicari.”

“Siapa yang kamu cari?” tanya Udin penasaran.

“Saya mencari orang-orang miskin yang masih beriman untuk saya jerumuskan. Biar ada teman di Neraka gitu.”

“Terus, kamu belum temukan?”

“Iya, Din. Susah sekali nyarinya. Orang-orang di sini, kelakuannya sudah melebih Setan semua. Yang miskin memang banyak. Tapi pada sombong-sombong. Sudah itu bertingkah dan bergaya seperti orang kaya lagi. Hidupnya glamor, terus utangnya numpuk.”

“Waduh…, apa sudah sedemikian parahnya, Tan?”

“Tidak diragukan. Aku ini spesialis khusus orang miskin, Din. Itu belum apa-apa. Di antara mereka, ada yang sukanya fitnah orang dianggap sebagai dakwah dan gemar menyebar berita hoax. Masa’ pembebasan Aleppo dari cengkraman bertahun-tahun teroris ISIS dibilang rezim Suriah membantai rakyatnya? Pakai tagar #SaveAleppo lagi sambil minta-minta sumbangan. Padahal mestinya kan #AleppoSave. Aku saja Setan ngerti, kalau Bashar Assad didukung 80% rakyat Suriah. Lalu bagaimana bisa ia disebut pembantai hanya karena mengusir teroris dan sekutu mereka lantaran terus merongrong kedamaian negaranya? Pusing aku liat kelakuannya. Pokoknya susahlah nyari yang betul-betul beriman.”


“Oh gitu? Pantasan kamu kurus begini. Kelihatan seperti busung lapar. Kamu nggak dapat kerjaan ternyata. Nggak kerja, nggak digaji, ya nggak makan.”

“Jangan salah ya, dulu aku itu gagah dan perkasa. Banyak loh cewek-cewek pada ngantri. Yah, itu sebelum aku dimutasi sama bos Ifrit. Dulunya aku biasa nongkrong di tempat-tempat hiburan malam. Makanya bodiku kekar dan besar. Makan banyak. Perutku sampai buncit. Tapi sekarang, bosku bilang, aku harus dimutasi. Tugasku sudah selesai di sana. Karena kelakuan manusia sudah melebihi Setan. Sehingga keberadaanku sudah tidak dianggap. Ini surat mutasiku.” kisah Setan sembari memperlihatkan surat tugasnya kepada Udin.

Keduanya pun larut dalam berbagi kisah. Hingga si Udin baru sadar jika selama ini, Setan lah yang suka menjerumuskan manusia. Termasuk dirinya bila tidak hati-hati. Dengan sigap, Udin berdiri dan memaki-maki Setan sebagai biang keladi kerusakan akhlak manusia.

“Setan yang sesungguhnya adalah akal bulus manusia, sikap ceroboh, keserakahan, dan nafsu kebinatangan, serta hatinya yang sudah membatu.” kata Setan mencoba menasihati dan menenangkan Udin.

“Yah, itukan karena ulahmu, Tan!” tuding Udin.

“Aku hanya sedikit melakukan provokasi dan kampanye-kampanye kemaksiatan. Sedikit saja, Udin. Selebihnya manusia sudah lebih hebat dari bangsaku dalam menciptakan kerusakan di muka bumi. Malah Indonesia yang damai ini mau mereka pecahkan dan hancurkan dengan membenturkan isu SARA. Manusia modern sudah jauh mengungguli kami dalam segala aspek kehidupan.” Setan terus membela diri.

“Buktinya apa?” desak Udin setengah berteriak.

“Kami para Setan sesungguhnya adalah kaum primitif, tidak tahu internet, tidak tahu facebook, twitter, tidak punya Blackberry, Samsung, Hp 4G, dan lain-lain.” Setan tampak berapi-api memberi penjelasan. Ia tidak mau reputasinya semakin tersudut. “Aku kira, Setan yang paling bejat sekalipun tidak ada tuh yang iseng membuat video mesum lalu menyebarkannya di internet.”

“Iya ya?!” Udin tampak membenarkan sekaligus bingung bila melihat kelakuan manusia dikekinian. “Oia, Tan, aku ziarah ke makan nenek dulu ya. Ini sudah hampir malam. Nanti kita lanjutkan cerita-ceritanya.”

“Oke, Din. Sampai ketemu ya!” ucap Setan sembari melambaikan tangannya yang dipenuhi bulu hitam, saat Udin berjalan masuk di kuburan.





Artikel Terkait


EmoticonEmoticon