Senin, 19 Desember 2016

Natal: Mencerdaskan MUI




Fatwa MUI

Kami merayakan Natal, kamu koment. Kami pakai atribut Natal, kamu gelisah. Kami diam, kamu bilang gak cinta agama sendiri. Lah iman, iman kami. Agama, agama kami.

Kan aneh, kamu puasa, kamu sweeping. Kami Natal, juga kamu sweeping. Lama-lama pikiranku jadi liar, jangan-jangan kamu naksir kami, tapi malu-malu. Gak usah malu, santai aja…

Terima kasih ormas Islam

Menjelang Natal tahun ini ada kegaduhan yang terjadi, sweeping ke perusahaan-perusahaan. Sweeping bertujuan menghentikan pemaksaan menggunakan atribut natal bagi karyawan muslim. Bagi Islam (mungkin) tindakan ini merupakan tindakan terpuji bahwa salah satu ormas peduli terhadap kesucian umatnya. Ini luar biasa. Saya sempat terharu……

Tapi apakah mereka ini tidak sadar bahwa penggunaan atribut Natal oleh perusahaan-perusahaan tidak melulu demi merayakan Natal? Apakah mereka ini sadar bahwa tujuan utama perusahaan itu bukan merayakan Natal melainkan bagian dari marketing? Apakah mereka ini sadar bahwa penggunaan atribut natal sebagai sarana marketing perusahaan seharusnya menyakiti hati umat Kristiani? Atribut natal digunakan sebagai daya tarik konsumen akan produk mereka merupakan perendahan nilai-nilai natal itu sendiri. Ini berarti Natal dimaknai sebagian orang sebagai momentum meraup keuntungan, tanpa menyadari bahwa arti natal tidaklah demikian. Saya heran! Perayaan Natal direndahkan nilainya, tetapi ormas Islam yang sibuk. Ada apa ini?

Maka di satu sisi, kami sangat senang bahwa ormas Islam membantu kami mengembalikan makna Natal sesungguhnya. Bahwa natal bukanlah soal atribut sinterklas dan pohon natal, melainkan damai bagi seluruh bangsa. Natal semakin dimurnikan dari bias makna karena atribut dijadikan sebagai ukurannya. Terima kasih loh sudah membantu kami.

Sesama Muslim dilarang saling merugikan

Tetapi di sisi lain, para pedagang dan pembuat atribut natal menjadi kecewa sebab keuntungan mereka akan menurun jika pemesanan attribut Natal semakin berkurang. Ingat, pedagang atribut Natal itu bukan hanya dari umat Kristen. Kalau Anda tidak percaya, silakan berkunjung ke mall dan pasar. Tanyakan apakah agama penjual itu? Tanyakan juga apakah pembuat atribut natal itu hanya orang Kristen? Atau tanyakan apakah dengan memakai atribut natal itu mengubah iman mereka menjadi iman kristiani. Saya yakin tidak. Mereka hanya membuat dan menjual. Kalau ada yang melarang, apakah yang melarang bertanggung jawab dengan kerugian itu? Mungkin mereka juga berseru, “Kenapa umat Islam dilarang mewujudkan toleransi beragama?”

MUI itu cerdik tapi tidak waras

Jujur nih, saya tidak anti-MUI, tapi saya perlu mengajukan kritik. Semoga mereka mendengar.

”Menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram,” kata Hasanuddin, dalam keterangan persnya. “Pemerintah wajib mencegah, mengawasi dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan yang sifatnya memaksa dan menekan pegawai Muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim,” kata dia, Rabu (14/12). (Sumber: Republika)


MUI mengharamkan penggunaan menggunakan atribut keagamaan non-Muslim, Natal, bagi yang Muslim. Kemudian mengimbau agar pemerintah mengawasi pemaksaan penggunaan atribut itu. MUl mengharamkan, memang itu domain mereka. Pemerintah harus mengawasi, memangnya yang buat fatwa itu pemerintah? Dari mana ceritanya ormas membuat aturan, tetapi pemerintah yang mengawasi dan mencegah? MUI ingin menunjukkan sikap keagamaan, tetapi melemparkan bola panas pengawasan kepada pemerintah. Jadi jika masih ada perusahaan melakukan pemaksaan, maka yang disalahkan adalah pemerintah. Kan licik… Kenapa tidak mereka saja yang melakukan pengawasan dan melaporkan perusahaan yang melakukan pemaksaan?

Bahayanya, jika masih ada perusahaan yang mewajibkan pegawainya menggunakan atribut natal dan pemerintah tidak bertindak, bagaimana? Tidak ada solusi masuk akal dari MUI. Inilah yang disalah gunakan ormas Islam. Mereka merasa berhak melakukan sweeping. Dan kalau sudah ada sweeping, yang tentu dengan pemaksaan juga, yang meresahkan masyarakat, MUI kemudian bungkam dan tidak mau tahu. Jangan-jangan MUI setuju tuh. Tidak waras…

Saya mau mewaraskan MUI

UUD 1945 sudah mengatur bahwa tidak ada pemaksaan dalam beragama. Saya sangat setuju. Maka jika ada pemaksaan menggunakan atribut Natal, diimbau kepada yang bersangkutan untuk menggunakan hukum sebagai payungnya dalam beragama dan mengadukan kepada yang berwajib. Dengan seperti ini keimanan seseorang juga diuji, apakah dia memilih taat kepada imannya atau (mungkin) kehilangan pekerjaannya. Maka MUI harus siap memfasilitasi umat Islam yang merasa dilakukan secara tidak adil. Inilah cara cerdas, menjadikan hukum sebagai pelindung iman, bukan ormas.




Tapi muncul persoalan kehilangan pekerjaan, itu sudah menjadi konsekuensi masing-masing. Kalau Anda tidak mau taat kepada aturan perusahaan, jangan mau bekerja di sana. Carilah tempat bekerja di mana Anda siap melaksanakan aturan yang berlaku. Itu aja kog repot. Maka kalau ada yang dipecat karena tidak mau mengikuti aturan, yah mestinya MUI harus siap juga memfasilitasi umat Islam untuk mencarikan pekerjaan, kalau tidak mau menyediakan. Kalau begitu caranya ya cerdas, karena bertanggung jawab, bukan lempar batu sembunyi tangan.

Bang, gak bahas lebih detail soal ormas yang melakukan sweeping? Tidak, gak penting. Nanti meledak, maklum sumbu pendek, dikasih minyak juga gak nutut menjangkau. Ups….

Sudahlah. Cobalah berpikir positif dan cerdas. Kalau ada yang berlaku tidak adil, maka ada hukum sebagai dasarnya. Sebagai seorang Katolik, saya juga tidak ingin atribut Natal menjadi momok ketakutan bagi orang lain. Jadi jangan memperkeruh suasana, apalagi sweeping. Apakah Anda mau datang bergembira bersama kami di Hari Natal, yah silakan. Kalau Anda lebih memilih tidak ikut karena akidah, yah silakan. Mari menyebar kesejukan kepada umat masing-masing. Itu lebih baik dan cerdas……

Teriring doa dan salam





Artikel Terkait


EmoticonEmoticon