Minggu, 18 Desember 2016

HTI Teriak-Teriak Save Aleppo, Faktanya Aleppo is Save




Jumat lalu, ratusan anggota HTI menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung. Aksi ini menuntut agar Negara-negara muslim termasuk Indonesia untuk menghentikan kekejaman di Aleppo. Mereka menuntut agar Indonesia secepatnya mengirim tentara kesana untuk membantu warga sipil yang diperlakukan semena-mena oleh penguasa, penguasa yang jahat.

Pemerintah jangan cuma bisa mengecam, kata mereka. Pemerintah harus melakukan kerja nyata. Dengan mengirim tentara. Jangan cuma memberikan bantuan makanan dan obat-obatan. Begitulah kira-kira tuntutannya.

Tiga hari sebelum HTI menggelar aksi unjuk rasa. Terdengar kabar suka dari saudara-saudara muslim di Aleppo. Ternyata, warga Aleppo sedang merayakan kemenangan tentara Suriah atas para pemberontak alias teroris, ISIS dan ikhwan secingkrangannya. Senang sekali mendapatkan kabar suka ini. Ada secercah harapan bagi warga Aleppo untuk hidup lebih aman dan damai.

Lalu. Yang menjadi pertanyaan adalah unjuk rasa HTI ini dalam rangka apa? Sampai-sampai menuntut agar secepatnya pemerintah Indonesia mengirim tentara kesana. Warga Aleppo bukannya sedang merayakan kemenangan mereka? Mereka sedang bersuka cita, bukan berduka. Jadi, untuk apa HTI gelar unjuk rasa segala?

Kalau unjuk rasa itu ditujukan untuk membantu para pemberontak, yakni ISIS dan ikhwan secingkrangannya, itu baru masuk akal. Kan HTI begitu mendambakan tegaknya khilafah di negeri ini. Sedang ISIS telah lebih dahulu mendirikan institusi khilafah di Irak dan Suriah. Jadi kan terlihat sama tujuannya.

Perlu diketahui. Terbentuknya khilafah ala ISIS dimulai dari kekacauan yang terjadi di Irak dan Suriah. Kekacauan ini mesti ada. Kalau tidak ada kekacauan, rakyat aman tenteram, semua lini kehidupan berjalan sesuai harapan, khilafah mustahil berdiri. Khilafah ala ISIS harus berdiri di atas pondasi darah dan air mata. Itulah syarat utamanya. Makanya, HTI hanya bisa berilusi tentang penegakkan khilafah di Indonesia. Negeri ini tak mampu digoncang. Padahal, sasaran “arab spring” selanjutnya adalah Indonesia.

Dalam analisis pakar-pakaran timur-tengah, Indonesia telah berkomitmen tentang posisinya terhadap Palestina. Itu juga yang disampaikan Presiden Jokowi saat kunjungan ke Iran baru-baru ini. Artinya, antara Indonesia, Iran dan Suriah mempunya komitmen yang sama tentang Palestina. Dan Suriah adalah pertahanan terakhir Palestina menghadapi Israel.

Saya rasa, HTI dan ikhwan secingkrangannya perlu memperbaiki nalar mereka yang agak sedikit “konslet”. Mengapa? Sebab, di satu sisi mereka selalu bawa-bawa #SavePalestina, tapi di sisi lain mereka malah mengutuk Negara-negara yang punya komitmen dan terus membantu Palestina, semisal Suriah dan Iran yang kini masih bertahan. Seharusnya, mereka mengutuk sekutu-sekutu Israel seperi Arab Saudi, Qatar, dan Turki. Inikan namanya “konslet” cara berpikirnya.



Setiap ke-konslet-an yang terjadi, yang menunggangi agama sebagai pemulusnya, kabar hoax harus bertanggung jawab atas ini. Itulah mengapa HTI sampai demo di Bandung. Itulah mengapa Walikota Bandung sampai mengunggah foto-foto hoax di akun instagramnya, yang menggambarkan situasi di Aleppo yang sedang mencekam. Foto-foto yang menyentuh insting kemanusian kita, mengacak-acak emosi kita, akan dianggap benar tanpa perlu proses klarifikasi atau tabayyun. Tidak lagi penting lagi benar atau salah sebab emosi selalu bisa mengalahkan logika.

Faktanya, Aleppo is save. Warga sipil sedang merayakan pembebasan mereka atas para pemberontak. Semua gambar yang memperlihatkan anak-anak yang sedang menderita akibat kekejaman pemerintah Suriah, itu semua hoax. Gambar-gambar itu diambil dari perang yang terjadi di Irak dan Gaza. Beberapa bahkan diambil dari kejadian di Pakistan. Pemberitaan yang masif, terstruktur dan terus-menerus, meski itu kebohongan, lama-lama ia akan menjadi kebenaran.

Kok bisa? Ya bisa. Demo HTI adalah bukti bahwa hoax itu nyata dan dianggap benar oleh banyak orang. Demo HTI sulit untuk dijelaskan maksud dan tujuannya. Siapa yang ingin ditolong? Warga sipil atau para pemberontak?

Kalau yang ingin ditolong adalah pemberontak yang dianggap pahlawan karena berani memerangi pemerintah yang dianggap kejam, mengapa pula warga gembira menyambut kemenangan militer pemerintah? Kalau ISIS dan ikhwan secingkrangannya adalah pahlawan bagi warga sipil, mengapa pula tidak dilakukan unjuk rasa ke pemerintah, turun ke jalan, lakukan perlawan atau selemah-lemahnya iman, diam di rumah?

Jurnalis perempuan independen asal Kanada Eva Bartlett mengatakan, “Saya sudah sering ke kota Homs, Maaloula, Latakia, dan Tarsus lalu ke Aleppo, empat kali. Rakyat Suriah mendukung pemerintahnya dan itu adalah kebenaran. Apapun yang kalian dengar dari media Barat justru kebalikannya.”

Jadi. Yang sebenarnya terjadi di Aleppo adalah begini. Tentara pemerintah berhasil memukul mundur para teroris dan pemberontak. Rakyat bersuka cita menyambutnya. Tapi berita yang beredar justru Aleppo masih mencekam. Tentunya, berita yang beredar mewakili kepentingan Amerika dan sekutunya atas Suriah. Dan HTI beserta banyak muslim lainnya telah terhasut oleh berita bohong tentang Aleppo.

Pada akhirnya. Kita hanya bisa mengernyitkan dahi saat HTI demo meminta pemerintah Indonesia mengirim tentara ke Aleppo. Lah, perangnya sudah selesai. Rakyat senang. Kalau TNI datang kesana mau ngapain? Mau bantu ISIS? ISIS aja disini ditangkep-tangkepin.

Saya rasa, begitulah kura-kura.



Artikel Terkait

1 komentar so far

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.


EmoticonEmoticon