Minggu, 18 Desember 2016

Tanpa teguran sebelumnya, proses hukum Ahok dinilai penyesatan hukum




Merdeka.com - Ketua Umum Komunitas Advokat Muda Basuki- Djarot (Kotak Badja) Muannas Al Aidid mengatakan ada proses hukum yang dilompati dalam proses penanganan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuka Tjahaja Purnama atau Ahok.

Menurutnya, kasus Ahok tidak ditangani seperti kasus-kasus penistaan agama sebelumnya. Muannas menduga hal ini sebagai salah satu bentuk penyesatan hukum.

"Dakwaan terhadap Ahok dengan pasal 156a KUHP dengan meniadakan UU No. 1 PNPS tahun 1965 menurut saya telah melanggar 'due process of law' yakni proses penegakan hukum yang adil dan benar. Ini yang saya sebut penyesatan," kata Muannas, di Resto Tjikini Lima, Minggu (18/12).

Muannas menjelaskan bahwa Pasal 156a KUHP merupakan pasal sisipan (BIS) dari KUHP peninggalan Belanda yang diamanatkan oleh Pasal 4 UU PNPS.

Dalam penggunaannya, Pasal 156a KUHP ini harus mengikuti mekanisme dalam UU Penodaan Agama, yakni sebelum kasus penodaan agama diproses secara hukum, maka yang bersangkutan diberi peringatan keras terlebih dahulu, ini yang termaktub dengan jelas dalam Pasal 2 ayat (1) dalam UU No 1 PNPS 1965.

"Bagaimana dengan kasus Ahok? Aturan harus ditegur terlebih dahulu tidak diberlakukan. Jadi ini berdasarkan tekanan masa atau berdasarkan aturan?," lanjut Muannas.

Sebelum aksi 411, Muannas menerangkan bahwa Polri telah diminta untuk menghentikan kasus Ahok karena dinyatakan gugur dengan permintaan maaf. "Pada saat MUI mengeluarkan fatwa, digeser ke Bareskrim karena tekanan massa," terangnya.

Pria yang juga mantan Tim Pengacara Muslim (TPM) ini sangat menyayangkan tidak adanya proses peringatan dalam kasus hukum Ahok dan tiba-tiba langsung ke proses pidana.

"Saya pernah menangani (sebagai penasehat hukum) kasus Eyang Subur tahun 2013, yang setelah dapat peringatan dia mau berubah dan kasusnya tidak berlanjut dengan adanya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Beberapa kasus lain seperti Gus Jari bin Supardi dari Jombang (2016), Jonas Rivanno, aktor (2015), Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, dll.nya juga dihentikan karena prosesnya sesat," bebernya.

Muannas menambahkan, harusnya dalam kasus Ahok, baik Polisi dan Jaksa tidak perlu meneruskan sebab ada indikasi bahwa penanganannya berdasarkan tekanan massa.

"Sebab ini terlihat sekali pemaksaan kasus Ahok dan terlihat jelas penyesatan hukumnya. Ini gara-gara tekanan massa. Pengadilan terhadap Ahok bergulir lebih karena tekanan massa daripada proses penegakan hukum yang benar dan adil," tegasnya.

"Maka saya setuju dengan istilah Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK) yang minggu lalu menyebut Ahok adalah korban kriminalisasi dan pelanggaran HAM. Kalau istilah saya sekarang: Ahok korban penyesatan hukum," ungkapnya.

Muannas berharap agar hakim menerima nota keberatan hukum yang diajukan oleh Ahok dan Penasehat Hukumnya.

"Jangan sampai proses hukum Ahok dilanjutkan karena sudah dipaksakan, karena tekanan massa, sementara proses hukumnya yang sudah sejak awal sesat," tandasnya.




Artikel Terkait


EmoticonEmoticon