Minggu, 12 Februari 2017

Galang Dana Untuk Demo Berjilid-Jilid, Ujung-Ujungnya Beli 3 Mobil Mewah. Ini Buktinya........








Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI berhasil mengumpulkan dana Rp. 3,8 miliar, untuk membiayai aksi demo 411 dan 212, melalui Yayasan Keadilan Untuk Semua (KUS). Penggalangan dana untuk aksi Aksi Bela Islam III diumumkan melalui media sosial, tertera penanggung jawab rekening tersebut adalah Bachtiar Nasir, Zaitun Rasmin, dan Luthfie Hakim.

Pendiri Yayasan KUS, Adnin Armas, mengatakan bahwa GNPF tak bisa membuka rekening sendiri untuk penggalangan dana tersebut karena bukan lembaga berbadan hukum. Akhirnya karena pertemanan antara ustad dengan ustad, Asdnin Armas meminjamkan rekening bank milik Yayasan KUS ke GNPF untuk digunakan sebagai alamat pengumpulan dana dari berbagai tempat. “Saya meminjamkan rekening jajasan ke GNPF untuk diganakan menggalang dana,” ujar Adnin Armas, Sabtu (11/2).

Penggunaan dana sepenuhnya dikelola oleh GNPF, penggalangan dana terakhir dikumpulkan pada Desember 2016. Penggalangan dana itu diduga dilakukan terkait pengerahan massa pendukung aksi 411 dan 212 dari berbagai tempat di Jawa dan Sumatera. Sebagaian dana telah terpakai, sisanya sekitar Rp. 2 miliar lebih masih di rekening. Total ada lebih dari 4000 donatur yang menyalurkan bantuannya melalui rekening KUS.

Polisi menduga aliran dana yang dikumpulkan tersebut sebagai upaya GNPF untuk melakukan pencucian uang. Pada Jumat (10/2), penyidik Bareskrim Polri memeriksa Ketua GNPF Bachtiar Nasir, Adnin Armas sebagai Ketua Yayasan KUS dan stafnya. Ketiganya diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal pengalihan kekayaan sebuah yayasan kepada pembina, pengurus dan pengawas, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium. Diduga telah terjadi pelanggaran atas Pasal 5 ayat 1 (UU No. 28 Tahun 2004): “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.”

Bareskrim Polri menggeledah rumah Adnin Armas di Jalan Metro Durta Raya Blok CC1 nomor 6 RT3/RW23, Kelurahan Baktijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok pada Sabtu 11 Februari 2017. Dalam penggeledahan itu, Polisi menyita dua buku tabungan BNI Syariah dan stempel Yayasan KUS. Bachtiar Nasir akan kembali diperiksa penyidik Bareskrim Polri pada Senin, 13 Februari 2017.

Dalam pemeriksaan di Bareskrim Polri, Jumat (10/2 , Bachtiar menyebut dana sumbangan itu digunakan untuk kebutuhan logistik unjuk rasa 411 dan 212. Selain itu, sebagaian dana tersebut disumbangkan kepada korban gempa Pidie Aceh, dan banjir Bima, Nusa Tenggara Barat. Total yang disumbangkan masing-masing Rp. 500 juta dan Rp.200 juta. Bachtiar membantah ada pemindahan hak terkait dengan dana sumbangan itu. Ia juga memastikan tak ada yang mengambil uang itu untuk kebutuhan lainnya. “Kami ini enggak ada yang mengambil, pemindahan hak. Enggak ada sama sekali,” ujar Bachtiar Nasir.


Kuasa hukum Bachtiar Nasir, Kapitra Ampera, keberatan kliennya disebut melalukan pencucian uang. Sebab, uang yang diduga dialihkan oleh Bachtiar itu bukan uang negara. “Itu bukan uang negara. Itu uang rakyat. Tidak ada hubungan dengan negara. Kalau itu uang korupsi bolehlah dicurigai pencucian uang. Ini uang masyarakat uang umat untuk bersedekah, berinfak. Lalu apa salahnya?” ujar Kapitra, Jumat (10/2).

Kapitra Ampera kembali dibully di Medsos gara-gara pernyataannya tersebut. Namanya pencucian uang (money laundry) itu tidak harus uang negara. Penggunaan uang dari hasil kejahatan seperti bisnis narkoba atau uang hasil yang tidak jelas asal-usulnya, dalam jumlah besar, itu juga merupakan pencucian uang. Uang masyarakat atau swasta kalau dimanifulasi sedemikian rupa juga merupakan kejahatan money laundry. Uang sumbangan masyarakat karena tertarik dengan apa yang direncanakan, tapi bila ternyata apa yang telah disumbangkan itu dipergunakan (dan dapat dibuktikan) untuk kepentingan pribadi maka berdampak hukum.

Pasal 3 UU nomor 8 Tahun 2010 berbunyi: “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dandenda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliarrupiah).”

Perlu untuk mendapatkan perhatian serius dalam kasus ini adalah, apakah Rp. 3,8 miliar betul-betul murni bersumber dari sumbangan masyarakat ataukah suatu upaya akal-akalan memasukan atau mengumpulkan dana bantuan dari luar Indonesia untuk membiayai aktivitas terorisme di Indonesia. Jumlah dana sumbangan Rp. 3,8 miliar dibagi 4000 orang penyumbang maka rata-rata sumbangan Rp. 950. 000/perorang. Sudah begitu makmurkah umat Islam di Indonesia? Diperkirakan ada penyumbang dalam jumlah sangat besar. Pertanyaannya: berapa, dari siapa, berasal dari negara mana, dan betulkah sumbangan sebesar itu sesuai dengan kebutuhan rencana aksi demo yang disampaikan? Sudah menjadi kewajiban bagi Polri untuk mewaspadai banyak hal terkait pendanaan dan pembentukan sel-sel jaringan terorisme di Indonesia.



Artikel Terkait


EmoticonEmoticon