Selasa, 07 Februari 2017

Di Sidang Ke-9, Ahok Makin di Atas Angin, Saksi Pelapor Jadi Bulan-bulanan Saksi Fakta





Sidang Ahok layaknya drama Korea. Di awali dengan duka dan air mata. Setiap orang yang menontonnya tidak akan bisa menebak bagaimana kesudahannya? Menegangkan, tapi kita tidak punya kepastian endingnya bakalan happy, meski kita tahu namanya film drama pasti happy ending. Sebab, konflik yang dimunculkan sang sutradara begitu apik, rapih, dan didukung performa brilian para bintangnya. Jauh lah jika dibandingkan dengan sinetron tanah air.

Makin kesini, sidang Ahok makin terasa kurang greget. Konfliknya makin sedikit. Aktor-aktor antagonisnya satu persatu menerima serangan balik yang mematikan. Lalu, datang lah bala bantuan yang akan memenangkan sang bintang melenggang riang di atas sebuah drama “atas nama agama” yang paling menegangkan abad ini.

Novel Bamukmin dan Muchsin Alatas, dua punggawa yang mengawali upaya mengantarkan Ahok ke penjara, kini dilaporkan pengacara Ahok. Orang seperti Novel yang garang, tak pernah takut hukum, kini harus mengemis perlindungan. Katanya, ia mendapat banyak teror dari orang tak dikenal. Ini sungguh menggelikan. Siapa yang berminat menteror penipu macam dia? Saya baru tahu, lasykar penteror kini ketakutan dengan teror.

Setelah mereka berdua, Wilyuddin yang kita ketahui sebagai “saksi Doraemon” karena mampu mengganti waktu dan tempat kejadian perkara, dilaporkan juga oleh pengacara Ahok dengan tuduhan memberikan kesaksian palsu. Lagi, Muhammad Asroi, yang bersaksi atas nama umat Islam sedunia, dilaporkan dengan tuduhan yang sama.

Belum lagi saksi-saksi yang lain yang tidak dilaporkan, seperti Irene Handono yang memberikan kabar bohong seputar aktivitas Ahok sebagai Gubernur. Belum lagi Gus Joy, saksi pelupa yang serba nggak tahu. Tidak ada yang beres dari sekian saksi pelapor. BAP mereka pun rata-rata sama. Bahkan salahnya pun sama. Tentu, di balik kegembiraan atas kesaksian yang begitu janggal, ada sedikit kekecewaan, karena hasil sidang jadi mudah ditebak.

Setelah para saksi pelapor yang diharapkan dapat menghantam Ahok di persidangan dapat dihantam balik oleh Ahok dan pengacaranya, kini giliran saksi fakta yang menghantam balik para saksi pelapor. Ini memang tak terduga. Saya tidak tahu apakah ini blunder dari JPU karena salah memilih saksi fakta, atau memang tidak ada opsi lain selain mereka yang harus dijadikan sebagai saksi.

Mengapa saya katakan blunder, sebab dari tiga saksi fakta yang telah memberikan kesaksian, ketiga-tiganya malah menghantam balik para saksi pelapor yang kesaksiannya abal-abal itu. Atau, JPU sengaja memilih mereka untuk menolong Ahok secara diam-diam. Atau, JPU telah disihir oleh tiga orang pengunjung aneh sehingga “bimsalabim” JPU menghadirkan saksi yang malah mendukung Ahok.

Serangan balik dari bala bantuan tersebut dimulai dari kesaksian Yuli Hardi, Lurah Pulau Panggang. Yuli Hardi menyampaikan bahwa warga Kepulauan Seribu menerima Ahok dengan baik, ini ditunjukkan dengan penghidangan “sukun goreng” yang merupakan simbol bahwa seorang tamu diterima dengan baik oleh warga.

Yuli Hardi juga menceritakan bahwa setelah kunjungan Ahok tersebut tidak ada hingar bingar “penistaan agama” disana. Tidak juga ada yang melaporkan hal ini sebagaimana kesaksian Novel dan Muchsin. Baru setelah video Buni Yani booming dan media mulai ribut membicarakan masalah ini, dimulailah pro kontra disana. Ada sebagian orang yang terprovokasi, ada juga yang cuek, dan ada juga yang tidak pernah mempermasalahkan pidato Ahok.

Dari kesaksian Yuli Hardi yang merupakan saksi fakta, dalam artian orang yang terlibat langsung dalam dugaan tindak pidana, tersingkap sebuah kesimpulan bahwa orang-orang di Kepulauan Seribu tidak sama sekali mempermasalahkan pidato Ahok disana. Ini penting. Karena, sebuah tindakan pidana harus dimulai dari adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan. Dan pihak-pihak tersebut bukanlah orang ketiga, yang katanya dan katanya.

Setelah kesaksian Yuli Hardi pada sidang ketujuh. Di sidang yang kesembilan hari ini, dihadirkannya dua saksi fakta lainnya, yakni dua nelayan yang mengikuti program Pemprov DKI tersebut. Mereka adalah Jaenudin dan Sahbudin.

Saksi Jaenudin menerangkan ke majelis hakim bahwa pada hari itu ia merasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang membuatnya keberatan dalam pidato Ahok. Malahan, ia pernah ingat Ahok mengatakan “apabila ada yang lebih bagus dari saya jangan pilih saya”.

Kesaksian Jaenudin ini telah menghempaskan seorang saksi pelapor yang mengatakan bahwa Ahok mengatakan “pilih saya, pilih saya” berulang-ulang saat pidato di Kepulauan Seribu. Saksi pembual tersebut juga mengatakan bahwa orang-orang takut melapor karena sudah terikat kontrak dengan Pemprov DKI.

Jaenudin juga memberi kesaksian yang lain bahwa warga Kepulauan Seribu dalam menanggapi pemberitaan dugaan penistaan agama oleh Ahok, reaksi mereka biasa-biasa saja.

Saksi fakta selanjutnya adalah Sahbudin. Dalam kesaksiannya, Sahbudin tidak mendengar atau memperhatikan pernyataan Ahok soal al-Maidah ayat 51. Ia juga memberitahukan bahwa setelah kasus Ahok ini ramai diberitakan, teman-teman dan masyarakat Kepulauan Seribu, reaksinya biasa-biasa saja.

Tidak hanya itu. Setelah Ahok selesai menyampaikan pidatonya, warga semua senang dan tepuk tangan. Malah banyak orang yang meminta foto bareng dengan Ahok.

Gimana tidak senang, memang isi dari pidato Ahok bukan tentang Pilkada, tapi tentang budidaya ikan Kerapu yang cukup menjanjikan. Malah, Pemprov memberikan pembagian 80-20 yang sangat menguntungkan warga.

Tapi. Dengan cara yang licik, pidato Ahok yang panjang tersebut dipotong menjadi tinggal 13 detik. Lalu, tiba-tiba banyak orang yang tidak tahu apa-apa, yang bermodalkan katanya, mereka menuduh Ahok menista agama Islam.

Ini seperti sepasang kekasih yang terlibat dalam kasih asmara. Suatu hari si pria memberikan tanda cintanya berupa sebuah cincin berlian. Tapi, ada pihak ketiga yang menaruh benci kepada si pria. Lalu dibuat-buatlah cerita bahwa si pria mencuri cincin tersebut yang akan ia berikan kepada kekasih pujaannya.

Pada akhirnya. Kebenaran menemukan jalannya sendiri. Ia bagaikan air yang tidak bisa dibendung meski oleh sebuah dinding kokoh sekalipun. Ia pasti akan menemukan jalannya. Entah kapan, kita tidak pernah tahu. Tapi yang kita ketahui adalah kebenaran pasti terungkap dan kebenaran pasti menang.

Ra(i)sa-ra(i)sanya begitulah

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon